Cerpen Hari Pengakuan
Tiba-tiba suara khas Waka-waka-nya Shakira meraung dari dalam handphone. Pesan pendek menyembul di layar blackberry.
“Selamat merayakan hari pengakuan. Semoga tuhan mengampuni semua kekhilafan kita”
Kepalanya berdenting keras. Hari pengakuan? Ia memijit jidat, licin. Keringat membanjir. Daudi bingung, sejak kapan ada perayaan hari pengakuan. Setahunya hari besar yang biasa dirayakan adalah Hari Raya, Maulid Nabi, Kelahiran Isa, Isra’ Mi’raj, Hari pahlawan Nasional, Hari Pendidikan, banyak lagi. Tapi ia tidak pernah mendengar hari pengakuan.
“Ini pasti ulah kawan-kawan yang suka iseng,” simpulnya. Mana ada di dunia hari pengakuan. Hari pengakuan itu di akhirat. Saat itu semua perbuatan di dunia akan dibeberkan oleh anggota badan. Semua, satupun tak tersisa.
Tak mau dibuat pusing, Daudi mengambil bundel kertas kerja yang tadi belum usai dilahap karena terburu lelap. Tumpukan kertas setinggi kelingking itu memuat berbagai aturan. Ia melihat padahal pikirannya sedang tidak di sana. Enggan juga Daudi membaca, mengkoreksi, membetulkan, tapi ini terpaksa dilakukan mengingat jabatannya kini sebagai wakil rakyat. Sebenarnya bukan tidak mau tapi tidak mengerti tentang aturan. Banyak dan atau. Banyak pasal, yang kadang-kadang menurutnya antara pasal 1 dengan 2 tak ada beda. Toh di sekolah tidak pernah belajar tentang itu. Tepatnya Daudi tidak pernah sekolah tinggi. Hanya kelas 6 SD, itupun tidak tamat.
Selagi membolak-balik kertas, pintu berderit. ada tamu, pikirnya. Ya, tamu hampir setiap menit datang. Entah dengan keperluan apa. Ada yang minta bangun jalan, jembatan, terakhir tamu yang datang kemarin minta diberikan sumur bor.
“Malas sudah masyarakat sekarang, mandi saja harus pakai sumur bor. Dulu saya mandi di sungai,” jawab Daudi kepada tamunya itu.
Pun begitu Daudi tetap berjanji akan membantu, kalau tidak tahun ini masih bisa tahun depan. “Selama saya masih kalian percaya, saya tanamkan kaki ke tanah demi hak masyarakat,” kadang bisa juga dia berorasi. Seperti kata orang-orang yang pernah duduk di bangku Daudi sekarang.
Tamu itu dipersilahkan masuk. Bukan tamu penting. Hanya office boy, tukang bersih ruang kerjanya, yang mengantar nasi kotak saban hari ketika waktu makan siang tiba. Memang begitu nilai diberikan Daudi. Ya, waktu makan siang. Dua kotak kuning ada lambang rumah makan elit di bagian atas diletakkan di meja.
Pemuda tanggung yang ia anggap sebagai pembantunya belum beranjak. Sejurus kemudian mendekat ke meja Daudi. Oh! Dia hanya ingin menyampaikan selamat hari pengakuan kepada atasannya, sekaligus meminta maaf atas kesalahan yang pernah dia perbuat. Padahal Daudi sendiri melihat dia sangat patuh. Tak mungkin dia ada kesalahan.
“Saya pernah memaki bapak walau dihati, ketika bapak menyuruh saya membersihkan toilet yang sumbat. Padahal kawan bapak yang tinggi hitam itu buang hajat tapi tak disiramnya,” Pemuda itu mengaku layaknya pencuri tertangkap tangan mencuri handphone mahal.
Daudi melongo. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Nadinya tercekat. Hari pengakuan tadinya ia anggap gurau benar adanya. Pengakuan office boy barusan cukup sudah menjadi bukti.
Kotak nasi hanya dipandangi. Sedang benak terbekap. Ragu menyalup hatinya. Sekedar meyakinkan diri, Daudi menjejal tanggal di kalender, ini hari tanggal hitam. Tak ada tulisan hari perayaan apa-apa. Mereka pasti salah.
Sengat matahari menembus kaca lantai dua, tempat ruangnya berada. Lapar juga ia. Bagaimana tidak, baru 6 bulan inilah ia dapat menikmati makanan enak, hidup nyaman, pakai sepatu bagus, baju rapi, kemana-mana pakai mobil dinas, setiap nelpon tak usah bayar karena biaya cakap ditanggung oleh negara, air bersih tak pernah sumbat, rumahnya selalu terang, pekarangan besar, pagarnya juga tinggi, hingga sekolah dua anaknya juga jadi beban negara. Ia merasa menikmati surga sebelum kiamat.
Dulu tidak begitu. Makan saja jarang. Cukup satu kali sehari. Kadang juga sampai berminggu tidak melihat beras. Menggantung diri pada alam. Sebagai pengisi lambung kerap melahap pisang hutan. Minum, sudah tentu air sungai dan hujan.
Pernah suatu ketika, ia seorang diri dikejar oleh pasukan pemerintah sebanyak dua kompi. Ia hampir mati. Untung ada seorang nenek menyembunyikan dia di loteng rumahnya. Setelah pengejaran, ia gagal ditangkap. Akhirnya pasukan pemerintah mendirikan pos bersebelahan dengan rumah nenek itu.
Selama dua minggu ia terperangkap di loteng. Setiap waktu makan tiba, nenek itu mengait bungkus nasi pada ujung bambu, dan mendorong ke loteng. Tanpa aba-aba Daudi tahu, nasi itu adalah untuknya.
Damailah yang merubah hidupnya. Semenjak pemerintah pusat sepakat berdamai dengan kelompok pemberontak, Daudi beserta kawan-kawannya yang lain diberikan kesempatan untuk memimpin daerah sendiri.
Sungguh ajaib satu tahun setelah itu, ia menjadi terpandang lebih dari sebelumnya. Rakyat menitip suara pada kolom namanya didaftar wakil rakyat.
“Soe nyang pula ureung nyan poet boh (Siapa yang tanam dia yang petik hasil),” genggamnya meninju langit saat hitung akhir ia meraup angka terbanyak. Sejak itulah hidupnya berubah.
***
Paha ayam goreng mengkilap berlumur cabai merah mengusir jauh pikirnya tentang hari pengakuan. Nasi dari beras terbaik ia ciduk satu persatu. Bermacam sayur saban hari terjun bebas ke lambungnya yang kini semakin terlihat membesar. Padahal dulu tidak seperti itu. Usai makan masih ada potongan semangka merah ranum sebagai pembersih sisa makanan di giginya yang sedikit menjorok keluar. Daudi kekenyangan. Ia ingin pulang dan tidur.
“Selamat hari pengakuan pak, saya minta maaf karena kemarin lalu tidak mengembalikan uang sisa beli rokok Bapak,” pas melewati warung mungil di kantornya. Itu suara pemilik warung. Daudi menunduk cepat lantas mendongak. Langkahnya berat, seolah berpuluh ribu ton beban menindih tengkuknya.
“I..i.iya,” jawabnya ragu, ia berlalu.
Sudah tiga orang mengucapkan hari pengakuan. Mereka mengaku semua kesalahan yang pernah dialamatkan ke dirinya.
“Mereka sangat bodoh ,” bisik hatinya.
Oh tidak. Mereka bukan bodoh. Tapi adalah orang jujur.
Dalam perjalanan pulang Daudi melihat sepanjang pinggir jalan penuh dengan spanduk, baliho raksasa membelah batas jembatan, pelan ia baca tulisan di sana. Selamat Hari Pengakuan. Sesaat berlalu, blackberry tak henti meracau. Pesan selamat hari pengakuan berdesak-desakan timbul ke layar.
Semua isi pesan, meminta maaf atas kesalahan mereka yang lampau. Sampai ada masalah yang tak ia ingat lagi. Tapi mengapa mereka masih ingat. Daudi menelan ludah. Gemetar badannya. Tak berani ia membalas pesan itu. Ia juga tidak tahu menulis apa.
Apakah ia juga harus mengakui semua salahnya? Tidak, ini mustahil. Bagaimana mungkin Daudi menyusun daftar dosa untuk dibeberkan ke setiap orang. Tidak ada pencuri yang mau mengaku. Bukankah begitu.
Jalan menuju rumah menjadi sangat jauh dari biasanya. Jejal spanduk disetiap kantor dan toko semakin menusuk hati, jantungnya berdentum hebat. Jelas ia ingin segera sampai ke rumah lantas diam diri di kamar, sambil nonton, agar hari pengakuan lenyap darinya. Handphone dimatikan. Perkara hari pengakuan dibuang ke parit otak.
Sampai di rumah betapa terkejut ia. Istri dan anak-anaknya telah siap merayakan hari pengakuan. Satu-satu mereka menyampaikan maaf atas kesalahan terhadap Daudi. Istrinya mengiba supaya lakunya memaksa Daudi tempo hari membeli mobil dimaafkan.
“Saya khilaf pak. Saya sakit hati karena dibilang punya suami pelit sama tetangga. Masak istri pejabat tidak punya mobil,” memang Daudi terpaksa membeli mobil untuk istrinya walaupun ia pakai jatah mesjid di desa pelosok kecamatan. Gajinya tak cukup untuk benda semewah itu.
Daudi mematung. Pinta istrinya tak dijawab. Semakin banyak onak menusuk hati. Pikirannya menghitung jauh. Ia mengumpul dosa. Terlalu banyak. Bukan berarti ia akan mengakui seperti istri, anak, pemilik warung, office boy dan teman-temannya yang lain. Tau kenapa? Baginya hari pengakuan hanya ada di akhirat.
Pengakuan didunia hanya bagi mereka yang ketahuan. Sedang kesalahan Daudi tidak ada yang tahu. Kenapa harus mengaku. Lagipula mengaku salah akan membuatnya lebih buruk dari setahun lalu. Bagaimana mungkin hidup megah mau diganti derita, hanya karena hari pengakuan.
Kalau sekedar khilaf ringan bisa ia minta maaf. Tapi ini? Apakah ia harus maraton ke setiap orang yang dengan penuh harap meletakkan polpen di namanya. Atau menggelar kenduri raya dengan harap ada ampun untuknya. Atau pula keliling pelosok dengan mobil pick up meneriakkan pengakuan, agar semua orang tahu, layaknya pengumunan konser artis ibu kota.
“Aku tunggu kiamat saja. Baru mengaku,” lirihnya menenangkan hati.
Kepada istri dan anaknya Daudi bilang terlalu lelah. Izin dipinta untuk tidur saja.
***
Lepas magrib mendadak kampungnya ramai. Mushalla sesak. Semua pakai baju bagus. Tak ubah perayaan hari raya idul fitri. Berbondong-bondong tak seorangpun tersisa. Seperti magnet menarik serbuk besi, semua berkumpul di mushalla.
Dari celah kosen Daudi mengintip, istri dan anaknya juga ikut serta. Tapi kenapa ia tidak diajak? Bukankah Daudi juga tidak akan ikut kalau diajak. Rasa heran mengkukus kepalanya. Mencari tahu ke sana sudah pasti tidak mungkin. Bertanya pada yang lewat takut diajak serta.
Entah kenapa, ada bisik dalam hati agar ia ikut saja. Mengaku adalah perbuatan mulia. Ia berdiskusi dengan diri sendiri. Kalau mengaku apa saja yang boleh dan yang tidak. Di secarik kertas ia mencatat semua tipunya selama ini.
Walau berat kakinya membawa setumpuk sesal ke mushalla, berharap pulang tanpa beban. Ringan melebihi angin. Daudi masuk ke mushalla dengan langkah gugup, semua mata berubah menjadi anak panah yang siap merobek tubuhnya. Serasa dalam hutan lebat tengah malam disiram hujan dahsyat. Menggigil ia.
Semua dapat jatah, berdiri satu persatu mengakui kesalahan kepada setiap orang yang pernah didhalimi.
Gilirannya tiba. Setengah jam berlalu. Kepada semua orang ia aku salah. Menyolong kambing tiga tahun lalu, mengancam orang kaya agar hidup tak berakhir sia-sia. Semua. Ada satu lagi.
“Sebenarnya nama saya bukan Daudi,” matanya terpejam guaratan di jidat berlipat-lipat, menandakan betapa berat untuk dilanjutkan.
Orang-orang melongo takjub dan heran. Untuk apa berbohong nama. Bukan perkara penting.
Daudi tak kuasa melanjutkan. Pelan hingga ia sendiri tak mendengar. Nama aslinya adalah Jurima. Sedang Daudi adalah nama di ijazah yang ia beli satu tahun lalu.
“Saya minta maaf,”.
Orang-orang mengangguk. Tersenyum. Dada mereka membusung. Padahal tak seorangpun tahu apa yang diucap Daudi.***
Sumber :
Oleh : Nanda Noviyanti
0 komentar: